Apa Hukum Mengamalkan Hadits Lemah atau Dhaif?
TANYA:
1. Bagaimana bisa ibadah sholat Awwabin yang haditsnya lemah masuk pada ibadah utama?
2. Bagaimana hukum memakai (mengalamkan) hadits dhoif?
JAWAB:
1. Tidak ada yang mengatakan atau memasukkan sholat awwabin --yaitu shalat sunat yang dikerjakan setelah Sholat Maghrib dan Ba'diyahnya (Ba'da Magrib)-- sebagai ibadah utama, karena haditsnya lemah (dhoif) menurut para ulama ahli hadits.
Menurut mayoritas ulama, tidak mengapa jika seseorang mengerjakan shalat setelah itu (Ba’diyah Maghrib)m dengan mengerjakan enam, delapan, sepuluh, atau lebih banyak raka'at lagi. Itu termasuk Fadlaiul A'mal (keutamaan ibadah).
2. Banyak ulama membolehkan mengamalkan hadits lemah (dhoif) sepanjang menyangkut amal sholeh ghair-mahdhoh, untuk keutamaan ibadah (fadhoilul a’mal).
Hal itu seperti dikatakan Imam An-Nawawi dalam Muqaddimah Hadits Arba`in-nya. Namun, hadits lemah tidak bisa dijadikan hujjah atau dalil, apalagi untuk masalah "hukum positif" (hudud/pidana/perdata).
Sikap “paling aman” adalah tidak menjadikan hadits lemah sebagai rujukan sampai ditemukan hadits yang kuat (sahih/hasan), seperti pendapat Abu Bakar Ibnu ‘Arabi yang menolak sama sekali segala macam hadits dhoif, baik untukmenetapkan hukum maupun untuk memberi sugesti amal.
Contoh Hadits Dhoif
Menurut catatan sejumlah ulama ahli hadits, hadits-hadits yang populer di masyarakat berikut ini termasuk hadits dhoif karena perawinya ada yang dikenal pendusta atau sanad-nya terputus, tidak sampai kepada Rasulullah Saw:
- “Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina”;
- “Beramallah untuk duniamu seakan-akan engkau hidup akan selamanya dan beramallah untuk akhiratmu seakan-akan engkau akan mati besok”;
- “Surat Yasin Hatinya Al-Qur’an”;
- “Perselisihan umatku adalah rahmat”;
- “Barangsiapa mengenal dirinya, dia akan mengenal Rabb-Nya”;
- “Perbanyak dzikir sampai dianggap gila”;
- “Keutamaan memakai sorban ketik sholat”; dll.
Demikian pandangan kami tentang Hukum Mengamalkan Hadits Dhoif. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bish-shawabi.*
Sumber: Syaikh Al-Albaniy, Adh-Dha’ifah, An-Nawawiy, Arba’in Nawawiyah; As-Sakhowiy, Al-Maqashid; Al-Qoul Asybah, Al-Hawi