Sabtu, 04 Oktober 2014

Hukum Biaya Haji Pinjam dari Bank

- Islam Berdikari - Assalamualaikum sahabat Islam Berdikari? Kali ini Islam Berdikari akan membagikan tulisan terbaru lagi. Tulisan ini berjudul Hukum Biaya Haji Pinjam dari Bank. Silahkan dibaca, lalu jangan lupa juga untuk membagikan tulisan ini. Langsung saja disimak baik-baik ya tulisan ini.

Hukum Biaya Haji Pinjam dari Bank
Hukum Biaya Haji Pinjam dari Bank

Bagaimana hukumnya utk biaya ibadah haji pinjam dari bank wass. 02292641XXX

JAWAB: Untuk mendapatkan haji mabrur, kita harus menggunakan bekal yang halal. Lagi pula, jika sampai pinjam uang, bisa dikatakan belum wajib haji karena belum mampu; jadi jangan memaksakan pinjam, apalagi dari bank riba.

Syekh Ibnu Utsaimin ditanya, “Sebagian orang mengambil utang untuk menunaikah haji dari perusahaan tempat dia bekerja, pelunasannya dilakukan dengan cara memotong gajinya secara angsuran, bagaimana pendapat Anda dalam masalah ini?“

Beliau menjawab, “Menurut pandangan saya, dia tidak perlu berbuat demikian, karena seseorang tidak wajib menunaikan haji jika dia memiliki utang, apalagi halnya jika dia sengaja berutang untuk menunaikan haji? Maka menurut saya, sebaiknya jangan berutang untuk menunaikan haji; karena menunaikan haji dalam kondisi tersebut bukan merupakan kewajiban baginya, karenanya dia seharusnya menerima keringanan Allah, keluasan, dan kasih sayang-Nya.  Seseorang tidak dibebankan untuk berutang yang dia tidak tahu apakah dapat melunasi atau tidak? Boleh jadi dia meninggal sebelum melunasi sehingga dia masih memiliki tanggungan.” (Majmu Fatawa, Syekh Ibnu Utsaimin).

Jika meminjamnya dengan cara peminjaman riba untuk menunaikan haji, maka hal itu merupakan dosa yang sangat besar.  Sebagian ulama berkata,  jika engkau menunaikan haji yang asalnya haram, engkau pada hakikatnya tidak haji, tetapi yang haji hanyalah hewan tunggangannya.

Imam Nawawi berkata, “Jika seseorang menunaikan haji dengan harta yang haram, atau mengendarai hewan tunggangan hasil rampasan, maka dia berdosa, namun hajinya sah dan dianggap, menurut pendapat kami. Itu adalah pendapat Abu Hanifah, Malik, Al-Abdari, begitu pula pendapat sebagian besar para fuqoha. (Al-Majmu'). Wallahu a’lam bish-shawabi.*
Disqus Comments